NAMA : M. SYAFIQ UMAM
KELAS : PS/3/D
NIM : 107046101813
TUGAS : FIQIH MUAMALAH
AKAD JAMINAN DALAM MUDHARABAH
Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak. Salah satu pihak menyerahkan harta (modal) kepada yang lain agar diperdagangkan, dengan pembagian keuntungan di antara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Sehingga mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih. Dalam hal ini, pemilik modal (shahib al mal atau investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahib al mal yaitu pihak bank dan keahlian (pengelola) dari mudharib yaitu dari pelaksana usaha.kegiatan mudharabah dan jaminannya erat sekaali dilakukan dan menjadi hal yang cukup penting di perbankan syariah,walaupun kerap kali mudharabah tidak dijadikan hal-hal pembiayaan yang bersifat pokok di perbankan,dan yang menjadi kegiatan usaha pokok di perbankan syariah adalah pembiayaan berupa murabahah yaitu jual – beli dan bank mendapatkan margin dari kegiatan jual beli tersebut.
Fungsi pokok bank adalah sebagai pihak financial intermediary yaitu pihak yang menjadi perantara antara nasabah sebagai lembaga yang bertugas untuk menyalurkan dana dan memfounding dana dari masyarakat yang mempunyai kelebihan dana.dan tugas yang disebutkan sebelumnya diakui dalam ajaran islam,selain itu pula dalam bank syariah (Islamic bank) menanamkan atau memegang teguh perinsip untuk menegakan kedailan,kejujuran,gharar,maysir,israf,dan moral hazard yang telah dilarang oleh syariah.didalam bank syariah terdapat pembiayaan seperti mudharabah,pembiayaan tersebut meerupakan pembiayaan yang dianjurkan di dalam syariah karena dari pembiayaan mudharabah dapat menyebabkan sektor rill terdukung dan juga kestabilan ekonomi pun akan terjadi tetapi bank syariah kurang berminat terhadap produk pembiayaan mudharabah hal ini disebabkan karena:
1. Sumber dana bank yang sebagian jangka pendek kurang dapat digunakan untuk membiayai bagi hasil yang biasanya jangka panjang
2. Pengusaha cenderung kurang berminat menggunakan bagi hasil karena lebih memiolih bunga yang memiliki tingkat keuntungan pasti
3. Kebanyakan yang memilih modal bagi hasil adalah mereka yang berbisnis dengan resiko tinggi
4. Untuk meyakinkan bank bahwa usahanya akan memberikan untung tinggi,pengusaha terdorong untuk membuat proyeksi bisnis yang upper
5. Banyak pengusaha yang memiliki dua pembukuan,dimana pembukuan yang diberikan kepada bank tingkat keuntungan lebih rendah
Dari poin – poin yang disebutkan diatas menjadikan bank sangat berhati-hati dalam menawarkan pembiayaan mudharabah.keadaan tersebut menjadikan bank syariah dalam menjalankan operasi lebih berorientasi pada bisnis,kurang memperhatikan kemaslahatan umat. Keadaan ini tidak lepas dari posisi pembiayaan bank dalam produk mudharabah dalam kontrak perkatek hokum ekonomi Indonesia yang berhubungan dengan produk bank syariah.Bank syariah kurang mendapat jaminan dari hokum yang ada,jika terdapat kecurangan dari pihak pengusaha dalam menggunakan dana. Keadaan ini berlaku sampai saat ini sehingga bank syariah mengeluarkan dana didasarkan atas dasar kepercayaan ,dimana bank dapat dipercaya bila didukung atas kelengkapan administrasi dari pengusaha.oleh karena itu masyarakat yang menggunakan perinsip bagi hasil memiliki status orang yang dipercaya oleh bank syariah untuk memutar uang di sector rill.namun dengan kepercayaan ini,tidak berarti bank syariah membiarkan pengusaha menjalankanusahanya sendiri sebab bank syariah memiliki fungsi kemaslahatan.jadi bank syariah memiliki peluang untuk mengendalikan usaha nasabah untuk komit terhadap kesepakatan penggunaan dana.tetapi dalam perakteknya bank syariah tidak memiliki kemampuan untuk mendampingi pengusaha sepenuhnya.inilah yang menjadikan bank kurang bias memprediksikan bahkan cenderung bersepekuasi atas perkembangan usaha yang dilakukan pengusaha,apalagi nanti pada saat penyampaian laporan keuangan bank tidak memiliki control penuh melakukan visitasi dalam laporan kegiatn tresebut.
berbeda dengan murabahah,di dalam murabahah bank hanya sebagai pelaku penjual saja dan menjual nya kepada nasabah yang telah pasti mendapatkan keuntungannya,sedangkan di dalam mudharabah keuntungan yang di dapat oleh bank menjadi belum pasti,karena pelaku usaha yang menjalankan usahanya bisa untung dan bisa saja rugi selain itu bias saja si nasabah melakukan kecurangan,sehingga pihak bank pun membuat peraturan berupa jaminan (rahn) yang bertujuan untuk mengantisipasi resiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam akad karena kelalaian ataupun kecurangan yan disebabkan karena moral hazard si pengusaha.dan jaminan (rahn) hanya dapat di eksekusi apabila terbukti melakukan pelanggaran yang telah disepakati didalam akad.senada dengan fatwa DSN MUI nomer 07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada perinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan maka bank dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Penyimpangan yang dilakukan bisa berupa membuat laporan keuangan yang tidak sesuai dengan kenyataan seperti keuntungan 200$ malah dilaporkan menjadi50$,oleh karena itu bank syariah dapat memninimalisir risiko kerugian akibat dari pembiayaan yang bermasalah dengan cara jaminan misalnya,karena dana bank yang diberikan kepada mudharib meripakan dana yang berasal dari nasabah lain yang mempunyai kelebihan dana,oleh karena itu bank harus bersikap amanah dan bertanggung jawab serta berperinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana atuapun dalam pemberian keridit,karena apabila hal tersebut tidak dipegang oleh bank manaka bank akan menjadi kekurangan kepercayaan dari masyarakat sehingga likuiditas bank pun menjadi tidak baik juga,sehingga jaminan pada bank syariah merupakan langkah yang tepat karena dalam kondisi pebisnis atau usaha yang masi kurang tingkat kepercayaan pada mudharib maka bank syariah apabila tidak memberlakukan jaminan maka posisi bank menjadi tidak pasti,walaupun pada perinsip paling utama pelaksanaan akad mudharabah adalah kepercayaan,tapi karena jaminan itu amat sangat diperlukan juga agar pihak bank tidak menjadi korban penipuan selain itu pula jaminan tidak digunakan untuk kegiatan yang bertujuan untuk menzholimi namun diposisikan pada pengganti kerugian,selain itu manfaat yang dapat diambil oleh perbankan syariah berkaitan dengan jaminan adalah:
1.Menjaga kemungkinan nasabah untuk lalai dan main-main dengan fasilitas yang diberikan oleh bank
2. Memberikan keamanan bagi segenap penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika nasabah peminjam ingkar janji karena suatu asset atau barang (marhun) yang dipegang oleh bank syariah
3.Jika rahn ditetapkan dalam mekanisme pegadaian,maka sudah barang tentu akan membantu saudara-saudara kita yang kesulitan dana terutama di daerah-daerah
4. Bank menerima biaya konkrit yang harus dibayar oleh nasabah untuk pemeliharaan dankeamanan asset tersebut.jika penahanan asset berdasarkan fidusia maka nasabah juga harus membayar biaya asuransi yang besarnya sesuai dengan yang berlaku secara umum.
Resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila diterapkan sebagai produk adalah adanya resiko penurunan nilai asset yang ditahan atau rusak.bagaimanapun juga masih sedikitnya produk-produk perbankan syariah yang beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia,sehingga produk rahn ini merupakan salah satu alternatife produk baru yang dapat dikeluarkan.
Dasar-Dasar Efektifitas Kerjasama Mudharabah
A. Dasar Kepercayaan/Dasar Moralitas
Dari latar belakang sejarahmudharabah yang telah sedikitdipaparkan di atas menunjukkanbahwa kemunculannya ditopang olehadanya unsur kepercayaan di antarapemilik modal dan pelaku usaha.Seorang pemilik modal yangtujuannya mencari keuntungan, tidakmungkin memberikan uangnyasebagai modal untuk usaha yangkekuasaan mengelolanya di tanganpelaku usaha, jika tidakadaunsursaling percaya. Sebab pemilik modaltidak diperbolehkan ikut di dalampengelolaan. Pengelolaan suatuusaha bisnis ada padakekuasaanpelaku usaha.Seorang pemilik modal yang ikutmengelola atau menguasaipengelolaan suatu bisnis yang
dilakukan oleh pelaku usaha, makaini tidak dapat disebut mudharabah,meskipun pelaku usaha adalahsangat profesional. Hal ini disebabkan karena dasar mudharabah adalahgabungan antara pemilik modal disatu pihak dan pelaku usaha di pihak
lain. Jika pemilik modal ikut danmenguasai pengelolaan maka terjadipercampuran yang akan sulit dalammengatur hak dan kewajiban masingmasingpihak dalam mudharabah.
B. Pemberian Syarat-Syarat dalam Mudharabah
Di dalam mudharabah, seorang pemilik modal dapat memberikan persyaratan-persyaratan tertentuagar dana yang dikeluarkan menjadiefektif dan efisien. Efektif dalam pengertian tujuan dikeluarkannyadana untuk suatu kegiatan bisnis dapat tercapai yaitu menghasilkan keuntungan. Efisien dalam pengertian sesuai dengan prinsip ekonomi bisnismodal yang dikeluarkan dapat menghasilkan keuntungan semaksimal mungkin.Pemberian syarat-syarat tertentuoleh pemilik modal dapat berupa
keharusan digunakannya dana untuk sektor ekonomi bisnis tertentu. Atau untuk suatu sektor ekonomi bisnis tertentu. Atau untuk suatu sector ekonomi tertentu di wilayah tertentu atau persyaratan mengenai jangka waktu usaha atau persyaratan lain
yang dapat disepakati bersama.Persyaratan-persyaratan tersebut dapat mempunyai makna secara positif; (1) sebagai bagian yang diperbolehkan dalam kerjasama mudharabah yang secara tidak langsung sebagai usaha untuk ikut memikirkan bisnis yang dilakuka noleh pelaku usaha; (2) sebagai bagianyang secara tidak langsung sebagai kontrol dalam bisnis yang dilakukan oleh pelaku usaha; (3) secara tidak langsung sebagai dorongan yang secara psikologis akan dapat memberikan semangat kerja sesuai dengan kesepakatan mudharabah.
C Profesionalitas Pelaku Usaha
Di atas telah dipaparkan bahwa mudharabah merupakan wadah bagi bersatunya modal dan keahlian. Oleh karena itu keahlian atau profesionalitas merupakan hal yang sangat penting di dalam mudharabah. Maka pemilik modal yang tidak mengetahui Kedudukan, Fungsi, dan Problematika profesionalitas pelaku usaha akan mempunyai resiko yang besar terhadap dana yang dikeluarkan.Pelaku usaha yang profesionalitasnya dalam bidang batikakan beresiko tinggi jika dibiayai oleh pemilik modal untuk melakukan bisnis jeans misalnya. Dengan demikian untuk mengurangi resiko kerugian, pemilik modal harus mengetahui profesionalitas pelaku usaha. Sektor ekonomi tertentu yang sesuai dengan profesionalitas pelaku usaha. Sektor ekonomi tertentu yang sesuai dengan profesionalitas inilah yang dapat dipersyaratkan oleh pemilik modal di dalam membiayai bisnis pelaku usaha, sehingga dapat memberikan motivasi kerja sesuai dengan profesionalitasnya.
D. Untung dan Rugi di Dalam Mudharabah
Dalam dunia ekonomi,keuntungan merupakan tujuan setiap aktivitas bisnis. Semua pihak yang terkait di dalamnya selalu berorientasi pada keuntungan.Prinsip ekonomi mengatakan bahwa dengan segala modal minimal bertujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal. Namun dalam realitas dunia bisnis kadang terjadi sebaliknya. Yaitu terjadi kerugian. Ini berarti bahwa untung atau rugi adalah realitas dunia ekonomi. Namun kerugian bukanlah keinginan. Setiap perilaku bisnis pasti tidak menginginkan kerugian, tetapi selalu menginginkan keuntungan.Oleh karena itu setiap aktivitas bisnis selalu menginginkan keuntungan, maka selalu berusaha untuk menghindari kerugian. Dalam menghindari kerugian, bisa jadi seseorang melakukan perbuatan yang merugikan orang lain. Atau bahkan untuk menambah keuntungan,seseorang kadang merugikan orang lain. Namun demikian setiap aktivitas bisnis selalu mempunyai teka-teki untung rugi.Bisa jadi untung dan bisa jadi rugi.Maka persoalannya adalah jangan sampai terjadi seseorang yang berkecimpung di dalam dunia bisnis tidak mau rugi dengan cara merugikan pihak lain.Bisa jadi seseorang dalam melakukan aktivitas bisnis selalu berusaha sedemikian rupa berbuat sesuatu agar bisnis yang akan dilakukan tidak menderita kerugian.Jika ini dilakukan dalam batas-bataswajar yang diperbolehkan oleh hukum, tidaklah menjadi persoalan. Namun jika seseorang melakukan perjanjian bisnis dengan pihak lain dan menempatkan pihak lain dalam kedudukan yang tidak seimbang,maka keadaannya tidak menjadi wajar dan akan merugikan orang lain. Ketidak seimbangan kedudukan diantara pihak-pihak dalam suatu perjanjian berpotensi menimbulkan eksploitasi.Dalam keadaan yang demikian,hukum mengambil peranan untuk mengatur hak dan kewajiban antara pihak-pihak yang terkait di dalamnya, agar keuntungan yang menjadi tujuan setiap aktivitas ekonomi dapat berjalan tanpa melanggar hak orang lain. Setiap aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk mencari keuntungan harus tidak menimbulkan kerugian pihak lain.Oleh kerjasama mudharabah selalu berdasarkan prinsip mencari keuntungan, maka keuntungan merupakan persoalan yang harus secara tegas ditentukan cara-cara pembagiannya. Maka secara hukum,perjanjian mudharabah harus mengatur persoalan keuntungan.Sebaliknya, tidak pernah ada keinginan untuk menderita kerugian Kedudukan, Fungsi, dan Problematika dalam mudharabah. Maka para ilmuwan hukum Islam klasik tidak mengharuskan adanya pengaturan kerugian kerugian dalam perjanjian mudharabah. Namun sesuatu yang tidak diinginkan kadang-kadang terjadi dalam kenyataan. Jika ternyata bisnis yang dibiayai oleh pemilik modal, menderita kerugian,maka kerugian yang bersifat finansial,yaitu berkurangnya modal, maka harus menjadi tanggung jawab pemilik modal. Pelaku usaha tidak dapat dibebani kerugian finansial.Pelaku usaha hanya dapat menanggung kerugian waktu, tenaga dan keahliannya.Namun demikian, jika kerugian yang diderita pelaku usaha adalah akibat kesalahannya, atau karena keteledorannya, atau karena melanggar perjanjiannya, maka tetap menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Pemilik modal tidak dapat dibebani kerugian yang demikian ini.
Dasar Hukum Jaminan di Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam, jaminan diistilahkan dengan ar-rahn. Dasar pijakanar-Rahn di dalam hukum Islam adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 283, yangartinya “..Dan jika kamu dalam perjalanan(dalam bermuamalah tidak secara tunai),sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah ada jaminanyang dipegang.Di dalam Hadis riwayat Bukhari dan Muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan.Menurut para ilmuwan hukum Islam,jaminan yang diberikan Rasulullah tersebut adalah peristiwa pertama tentang jaminan di dalam Islam. Artinya Rasul memperkenalkan jaminan ini untuk dijadikan sumber hukum Islam.
Pengertian Jaminan dalam Hukum Islam
Jaminan dalam bahasa Arab adalahar-Rahn. Secara epistemologis,kata ar-Rahn mempunyai pengertian tetap atau kekal atau jaminan. Para ilmuwan hukumyang menganut aliran Maliki mendefinisikan ar-Rahn sebagai Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat.Menurut para ilmuwan hukum Islam aliran Hanafi, ar-Rahn adalah menjadikan sesuatu (barang) sebagi jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagiannya.Sedangkan para ilmuwan hukum Islam aliran Syafii mengartikan ar-Rahn sebagai menjadikan materi (barang)sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang, apabila orang yang berutang tidak dapat membayar utangnya itu.
Syarat-Syarat Sahnya Jaminan
Untuh sahnya suatu jaminan,mayoritas ilmuwan hukum Islammemberikan ketentuan sebagai berikut:
a. Harus ada pemberi jaminan (ar-Rahn)
b. Harus ada yang menerima jaminan yaitu yang memberikan utang (almurtahin).
c. Harus cakap berbuat hukum. Artinyadapat menanggung hak dan kewajiban. Menurut Imam Hanafi,anak kecil (mumayiz) dapat melakukan transaksi ar-Rahn denganpersetujuan walinya.
d. Harus ada ijab dan qabul.Untuk sahnya jaminan harus ada:
1. Persetujuan antara yang memberikan jaminan dan yang menerima jaminana tau orangyang memberikan utang.Persetujuan itu mencakup hal-hal yang dapat memperlancar hubungan Kedudukan, Fungsi, dan Problematika utang piutang antara kreditur dan debitur. Oleh karena itu persyaratan persyaratan yang bertentangan atau yang menghambat tujuan adanya jaminan adalah tidak diperbolehkan,yang menjadikan tidak sahnya jaminan.
2. Harus ada utang piutang. Jaminana dalah untuk menjamin suatu utang.Oleh karena itu tidak ada jaminan tanpa utang piutang. Untuk adanya jaminan maka dipersyaratkan adanya utang piutang. Dengan demikian jaminan merupakan perjanjian tambahan yang dalam literatur hukum berat disebut dengan perjanjian asessoir. Dalam hokum Islam adanya utang ini diperyaratkan:
a. bahwa utang merupakan kewajiban debitur yang harus dilunasi kepada kreditur;
b. bahwa utang tersebut boleh dilunasi dengan jaminan, jika ternyata kemudian debitur ingkar janji;
c. bahwa utang yang dijamin itu harus jelas dan tertentu. Artinya dalam jumlah yang jelas dan utang tertentu.
d. Harus ada harta yang dijadikan jaminan Harta yang dijadikan jaminan itu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a1. Barang yang dijadikan jaminan dapatdijual;
b1. Nilai barang jaminan adalah seimbang dengan utang;
c1. Barang jaminan harus bernilai hartadan dapat dimanfaatkan dalampengertian mempunyai manfaat.Maka minuman ganja misalnya, tidakdapat dijadikan jaminan karena tidakmempunyai manfaat, meskipunmempunyai nilai harta;
d. Barang jaminan adalah jelas dantertentu wujud dan jenisnya;
e. Barang jaminan adalam milik sah orang yang berutang;
f. Barang jaminan tidak terkait denganhak orang lain;
g. Barang jaminan itu merupakan barangyang utuh dan tidak bertebaran dalamberbagai tempat yang menyilitkan;
h. Barang jaminan dapat diserahkansecara materi, atau secara alas hakatau pemanfaatannya.Dalam uraian di atas telah disinggungbahwa jaminan bukan merupakanperjanjian pokok. Jaminan bukan merupakan perjanjian yang berdiri sendiri.Jaminan merupakan perjanjian tambahan yang terjadi karena adanya perjanjian pokok, yaitu utang piutang. Jaminanbukan merupakan perjanjian pokok,sehingga perjanjian jaminan tidak dapatberdiri sendiri. Oleh karena itu para ilmuwan hukum Islam menentukan bahwa jaminan (ar-Rahn) baru dianggap sempurna jika pihak debitur sebagai orang yang berhutang telah menerima utang dari pihak kreditur sebagai pihak yang berpiutang dan barang jaminan telah diserahkan secara hukum berdasarkan alas hak oleh debitur sebagai pihak yangberhutang kepada kreditur sebagai pihak yang berpiutang.Kesempurnaan jaminan ini didasarkan pada al-Qur’an surat al baqarahayat 283 yang menentukan “farihanun maqbudhah” yang artinya “makahendaklah ada barang yang dipegang”.Artinya barang jaminan itu berada dalam kekuasaan orang yang memberikan utang.Tentu saja penyerahan barang dari orangyang berutang kepada orang yang memberikan utang itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh karena itu jika jaminan berupa tanah, maka tidak
mungkin tanah itu diberikan secara fisik,tetapi dapat berupa alat bukti hak(sertifikat). Demikian juga jika jaminan itu sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya(BPKB).Seperti yang telah dipaparkan didalam pembahasan dasar falsafah mudharabah di muka, bahwa mudharabaha dalah kerjasama. Yaitu gabungan antara Kedudukan, Fungsi, dan Problematika modal dan keahlian usaha yang dikerjasamakan. Oleh karena kerjasama
di sini bersifat langsung, maka kedudukan modal dan keahlian usaha adalah sama dan sederajat. Maka pelaku usaha mempunyai kedudukan yang sama dengan pemilik modal. Oleh karena dalam kedudukan yang sama maka ahli hokum Islam klasik menentukan tidak diperbolehkannya pemilik modal memintaj aminan kepada pelaku usaha. Sebab pemilik usaha yang mensyaratkan adanya jaminan didalam mudharabah menempatkan pelaku usaha tidak sama dan sederajat dengan pemilik modal. Keahlian usaha tidak ditempatkan pada kedudukan yang sama dan sederajat dengan modal. Modal dianggap lebih tinggi kedudukannya dan peranannya di dalam mudharabah.Realitas dalam dunia perbankan menunjukkan bahwa jaminan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjanjian antara bank dan nasabah pengguna dana. Meskipun secara teoritis dalam perbankan konvensional dimungkinkan adanya pinjaman tanpa jaminan, namun dalam realitas tidak dapat dilakukan, sehingga jaminan merupakan persyaratan bagi nasabah pengguna dana perbankan konvensional. Realitas ini dapat dipahami:
1. Dalam perbankan konvensional hubungan bank dan nasabah pengguna dana adalah hubungan pinjam meminjam atau utang piutang;
2. Untuk mengurangi resiko hilangnya dana yang telah dikeluarkan bank;
3. Sebagai motifasi pengguna dana untuk bertanggung jawab terhadap penggunaan dana yang bukan miliknya sendiri.Dalam Islam jaminan adalah diperbolehkan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis Namun pembolehan itu adalah dalam utang piutang. Sebab dalam utang piutang atau pinjam meminjam , kedudukan antara yang meminjamkan dan yang meminjam adalah sebagai kreditur dan debitur. Kedudukannya tidak sejajar atau tidak sederajat. Ketidak sejajaran dan ketidak sederajatannya inilah yang menjadi alasan diperbolehkannya jaminan di dalam al-Qur’an. Utang piutang atau pinjam meminjam bukan merupakan kerjasama, maka jaminan adalah dibolehkan. Oleh karena mudharabah bukan utang piutang atau bukan pinjam meminjam, maka para ahli hukum Islam tidak membolehkan jaminan. Namun dalam realitas perbankan syari’ah yang mengunakan instrumen mudharabah dalam memberikan pembiayaan kepada pelaku usaha, dipersyaratkan adanya jaminan. Maka secara hukum, jaminan bukan merupakan bagian dari perjanjian mudharabah. Jaminan berada di luar perjanjian mudharabah. Untuk mengetahui adanya realitas jaminan dalam perjanjian pembiayaan mudharabah secara lebih utuh diperlukan penelitian.
Rukun Mudharabah
Sedangkan rukun dalam mudharabah berdasarkan Jumhur Ulama ada 3 yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani),modal ( ma’qud alaih), dan shighat (ijab dan qabul).ulama syafi’iyah lebih memerinci lagi menjadi lima rukun,yaitu modal,pekerja,laba,shighat,dan dua orang yang berakad.[1]
Syarat sah Mudharabah
Syarat Aqidani
Disyaratkan bagi orang yang melakukan akad,yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil.
Syarat Modal
a. Modal harus berupa uang,seperti dinar,dirham,dan sejenisnya yaitu segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian.[2]
b. Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran
c. Modal harus ada dan bukan berupa utang bukan berarti harus ada di tempat akad.
d. Modal harus diberikan kepada pengusaha
3. Syarat Laba
a. Laba harus memiliki ukuran
Ulama Malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua laba untuknya.[3]
b. Laba harus berupa bagian yang umum (Masyhur)
Pembagian keuntungan di dalam pembiayaan mudharabah memiliki berbagai macam kode etik yaitu:
1. Keuntungan berdasarkan kedua belah pihak ,tapi kerugian berasal dari pemilik modal
2. Keuntungan dijadikan sebagai cadangan modal
3. Pengelola tidak boleh mengambil keuntungan sebelum masa pembagian
4. Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut.
Kalangan ahli fikih Hanafiyah[4] dan Malikiyah [5] membolehkan kalau terjadi kerugian harus ditutupi dengan keuntungan yang telah dibagikan.
Kembali kepada pokok permasalahan, pada gadai dalam mudharabah kedudukan-kedudukan lembaga penjamin memiliki dua filosofi yaitu untuk mengurangi spekulasi bank syariah atas resiko ketidakpastian keuntungan atau kerugian pengusaha dalam mengelola dana bank syariah,dan yang terakhir bank syariah memiliki fungsi sebagai lembaga yang berperan dalam meningkatkan kegiatan ekonomisesuai dengan kemaslahatan umat.
Lembaga-lembga penjamin harus juga memiliki berbagai macam criteria,seperti:
1. Memiliki kompetensi dalam mengembangkan perbankan syariah
2. Memiliki komitmen pengelola sector rill
3. memiliki keterkaitan dengan pihak bank syariah supaya tidak terjebak sebagai lembaga broker.
Mengenai keberadaan lembaga penjamin dalam produk mudharabah adalah:
1. Lembaga penjamin dalam paraktek mudharabah
Pengusaha mengajukan pembiayaan kepada bank syariah lalu bank melakukan peninjauan studi kelayakan setelah itu lembaga penjamin memberikan rekomendasi kepada bank syariah mengenai kelayakan pembiayaan yang diajukan oleh pihak penguaha.bila layak, bank syariah memberikan dana yang sesuai dengan yang diajukan dan yang telah direkomendasikan lembaga penjamin,setelah usahanya jalan lembaga penjamin akan melakukan survey lapangan misalnya seminggu sekali atau sebulan sekali,dengan begitu bank syariah mendapatkan laporan mengenai prospek dan jalannya perkembangan usaha nasabah selama menggunakan dana bank.
2. Lembaga penjamin dan kombinasi produk
Pengkombinasian prinsip bagi hasil dengan prinsip lain memiliki tujuan supaya:
a. Produk bagi hasil memiliki daya tarik bagi pihak bank ataupun nasabah
b. Mengurangi ketidakpastian resikoyang dihadapi bank syariah dalam mengeluarkan dana
c. Menunjukan bahwa bank syariah akomodatif dengan masalah-masalah yang berkembang di masyarakat
Adapun mengenai produk bank syariah yang bias diakomodasikan ada empat yaitu:
1. Produk al-Istishna wa al-Mudharabah Muqayyadah
Produk tersebut merupakan kombinasi dari produk al-istishna dengan al-mudharabah muqayyadah.pertama pengusaha mengajukan pembiayaan jenis ini pada bank syariah,lalu bank syariah melalui rekomendasi lembaga penjamin membeli barang-barang produksi yang dipesan pengusaha kapada produsen,selanjutnya bank memberikan barang pada pengusaha dengan pelunasan yang menyicil dengan perinsip mudharabah
2. Produk al-ijarah al-muntahia bi-tamlik wa al-mudharabah muqayyadah (IJMM)
produk ini merupakan kombinasi dari al-ijarah al-muntahia bi-tamlik dan al-mudharabah muqayyadah.pengusaha mengajukan pembiayaan jenis ini pada bank syariah,keudian dengan rekomendasi lembaga penjamin menghubungi supplier guna memenuhi barang produksi yang akan disewakan pada pengusaha,setelah itu bank memberikan barang tersebut pada pengusaha,cara membayar sewa dengan cara mengangsur dengan prinsip bagi hasil
3. Produk al-hiwalah wa al-mudharabah muqayyadah
Produk ini kombinasi anatara al-hiwalah dan al-mudharabah muqayyadah, melalui lembaga penjamin, bank syariah melakukan studi kelayakan dari pemindahan utang tersebut (hiwalah),bila lembaga penjamin merekomendasikan tidak bermasalah maka pembiayaan ini akan diproses oleh bank syariah dan pelunasan dengan cara mengangsur dengan perinsip bagi hasil.
4. Produk al-rahn wa al-mudharabah muqayyadah
Produk ini merupakan kombinasi antara produk al-rahn dan al-mudharabah muqayyadah.nasabah ingin mendapatkan pembiayaan jenis ini lalu pengusaha menjamin barangnya kepada bank untukk mendapatkan dana guna membeli barang produktif,selanjutnya lembaga penjamin melakukan studi kelayakan atas usaha pengusaha,bila rekomendasi lembaga penjamin tersebut menyatakan bahwa pengusaha layak mendapat dana maka bank mencairkan dana,dan pelunasan dengan cara mengangsur dengan perinsip bagi hasil.
Kesimpulan Solusi dan saran
Jadi di dalam pempaparan makalah yang telah saya tulis bahwa jaminan dalam mudharabah harus ada sesuai pula dengan fatwa DSN MUI nomer 07/DSN-MUI/IV/2000 dijelaskan bahwa pada perinsipnya dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan,namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan maka bank dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga.dan jaminan tersebut hanya dapat dicairkan bila mudharib terbukti melakukan pelanggaran/penympangan ,lalai,dan curang.dengan demikian jaminan disini tidak berfungsi sebagai pengganti pengembalian modal yang disalurkan pada nasabah untuk usaha,tetapi jaminan tersebut posisinya sebagai ganti rugi kalau benar-benar terjadi kelalaian kecurangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha/nasabah,dan bank dinyatakan rugi karena faktor diatas,baru bank dapat mengeksekusi jaminan nasabah.apabila nilai jaminan itu lebih maka sisa dari hasil eksekusi dapat dikembalikan kepada nasabah/ pengusaha tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Syafei,Rachmat, Fiqih Muamalah, Bandung,Pustaka Setia,2006.
Ash-Shawi,Shalah & Abdullah al-Mushlih,Fikih Ekonomi Keuangan Islam,Jakarta,Darul Haq,2008.
[1] Muhammad Asy-Syarbini,Op.Cit.,juz II.hlm.310
[2] Wahbah Al-juhaili, Al-Fiqh Al-islami wa Adillatuh, juz IV, hlm . 844
[3] Ibn Rusyd, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, juz II,hlm.335
[4] Lihat al-Mughni oleh Ibnu Qudamah,5/178-179.
[5] Al-Muhadzdzab oleh Abu Ishaq Asy-Syairazi,1/387.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment